Headlines News :
.

Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus

Seri Bacaan Orang Tua: Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus Orang Tua dengan Anak yang Berkebutuhan Khusus
Dra. Rahmitha, S.Psi

TANTANGAN BAGI ORANGTUA

Membesarkan anak adalah sebuah tantangan. Ibu dan bapak memiliki peran yang sama di dalam mengasuh anak-anak; peran yang saling melengkapi di dalam keluarga dalam membantu anak mengembangkan identitas dirinya. Hal ini berarti, ibu dan bapak perlu bekerja sama dalam memikul tanggung jawab yang seimbang agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang optimal (baik).
Ketika ibu dan bapak mendapat karunia untuk membesarkan anak berkebutuhan khusus, tentunya situasi yang harus dihadapi akan menjadi sangat jauh berbeda. Ada dukungan yang harus lebih banyak diberikan, ada diskusi yang harus lebih sering dilakukan, ada kerja sama yang pastinya harus dijalin, berusaha sekuat tenaga untuk bisa menjadi model (contoh) yang baik, harus dapat menunjukkan rasa cinta yang tulus dan lebih kepada pasangan dan anak-anak.

Sebuah puisi indah yang bisa menjadi renungan
”100 tahun dari sekarang, tidak peduli berapa banyak uang di bank yang saya miliki, jenis rumah seperti apa yang saya tinggali, dan juga jenis mobil apa yang saya kendarai….
Tapi dunia akan menjadi berbeda karena saya pernah menjadi bagian yang penting di dalam kehidupan anak”
(anonymous)

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Setiap anak lahir dengan membawa potensi (kemampuan) di dalam dirinya yang harus dikembangkan secara optimal, potensi-potensi itu adalah:
1. Bahasa dan Bicara
2. Kemandirian
3. Sikap dan Perilaku
4. Kecerdasan
5. Keterampilan Bergerak
6. Sosial Emosional
Melalui pengasuhan, perawatan, pembimbingan, dan pendidikan (4P) pada anak yang dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan akan membuat potensi-potensi tersebut berkembang. Hanya saja, 4P pada anak menjadi tidak mudah jika anak memiliki masalah atau gangguan dalam tahap perkembangannya yang biasa disebut anak lambat berkembang (ALB) dan anak berkebutuhan khusus (ABK).

ALB adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan, satu atau dua aspek perkembangannya tidak sama dengan anak pada umumnya. Dengan kata lain, ALB adalah anak yang pada waktu dilakukan pemeriksaan perkembangan mengalami keterlambatan 1—2 aspek perkembangan dari tingkat umur.
ABK adalah anak yang mengalami keterlambatan lebih dari dua aspek perkembangan dan lebih dari satu tingkat umur atau anak yang mengalami penyimpangan. Gangguan dan hambatan dalam beberapa aspek tersebut adalah:
1. Fisik (tunanetra, tunarungu, tunadaksa).
2. Bahasa dan komunikasi (tunarungu, anak dengan gangguan komunikasi).
3. Emosi dan perilaku (tunalaras).
4. Sensorimotor (tunadaksa).
5. Intelektual (tunagrahita).
6. Bakat (umum dan khusus).
7. Autisme.
8. Gangguan belajar (learning disabilities).
Dengan demikian, ABK membutuhkan layanan pendidikan khusus. ABK membutuhkan metode, materi pembelajaran atau kegiatan, pelayanan dan peralatan yang khusus agar dapat mencapai perkembangan yang optimal, karena anak-anak ini mungkin akan belajar dengan kecepatan yang berbeda dan juga dengan cara yang berbeda.

BERI SEBUTAN YANG BERMARTABAT
Walaupun ABK memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak secara umum, namun mereka harus tetap mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama. Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memberikan sebutan yang bermartabat kepada mereka.
Penyebutan bagi ABK telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Penerimaan akan penyebutan yang lebih positif menggambarkan bahwa ABK lebih banyak dilihat persamaannya dengan anak kebanyakan dibandingkan hanya memerhatikan perbedaan yang dimilikinya. Ketika seseorang dapat menyebutkan “anak penyandang tunanetra”, itu memberikan pemaknaaan bahwa kata “anak” di depan memperlihatkan pentingnya penerimaan kita akan anak itu sendiri, bukan sebagai sosok yang lain tetapi anak secara utuh. Kata “penyandang buta” (tunanetra) menunjukkan bahwa “buta” (tunanetra) merupakan kondisi yang dialami anak dan itu adalah persoalan kedua yang harus menjadi perhatian kita. Dengan demikian penyebutan “anak penyandang tunanetra” adalah untuk memperlihatkan bahwa anak itu lebih penting daripada ketidakmampuan yang dialaminya.
Jadi, janganlah kita menyebut anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan sebutan anak cacat, anak buta, anak autis, dan lain sebagainya, melainkan anak dengan keterbatasan kemampuan fisik, anak dengan ketidakmampuan untuk melihat, anak penyandang autisme, dan sebagainya.

MENERIMA KENYATAAN
Sebagai seorang psikolog selama lebih kurang 20 tahun, sudah ratusan orangtua yang saya temui dengan keluhan atau harus menghadapi anaknya yang didiagnosis sebagai anak berkebutuhan khusus. Seorang sahabat bercerita, ketika anak yang dilahirkannya didiagnosis mengalami sindroma down, ia pun merasa syok yang hebat. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya; ia merasa tidak percaya akan berita itu, sedih langsung menyergap, menolak kenyataan itu, bersalah mengapa harus melahirkan anak dengan kondisi seperti itu, membayangkan anak itu akan tumbuh dan berkembang berbeda dengan anak lain, hati selalu berkabung, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa dengan lancar mengucapkan kata sindroma down. Perasaan-perasaan seperti itulah yang berkecamuk pada orangtua ketika mengetahui anaknya didiagnosis mengalami suatu kelainan.
Dalam psikologi, ada yang dinamakan “siklus kedukaan”. Ketika orang dihadapkan pada kenyataan yang menyakitkan, secara disadari atau tidak, dia akan berusaha menyangkal kondisi itu. Selain itu, orang juga bisa mewujudkan kedukaan tersebut dengan cara marah, entah marah kepada dirinya sendiri atau orang sekitar yang terdekat. Pendampingan yang bersifat netral dapat membuat orang keluar dari masa ini. Ketika kedua tahapan ini dapat diatasi, yang bersangkutan dapat masuk ke dalam tahapan perundingan. Di sini ia mulai mencari cara untuk berkompromi, mulai bisa melihat sisi positif dari kejadian yang dialaminya, dan mencari-cari jalan penyelesaiannya. Jadi, ada tahapan depresi (sedih, perasaan tertekan) dan ada tahapan dimana orang mulai bisa menerima kenyataan yang harus dihadapinya, hingga akhirnya orang tersebut masuk pada tahapan penerimaan, yaitu bisa menerima kenyataan hidup secara objektif (yang sebenarnya).
Demikian juga pada orangtua yang harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya menyandang kebutuhan khusus. Mereka akan melewati siklus ini, mungkin ada yang berhasil hingga bisa mencapai tahap penerimaan tapi tidak sedikit yang terbelenggu pada tahap penolakan, kemarahan, perundingan, atau depresi. Semua ini sangat bergantung pada kondisi fisik dan psikologis (kejiwaan atau mental) ibu dan ayah, anak itu sendiri, serta lingkungan sekitarnya. Dukungan positif dari lingkungan sekitar akan memberikan dampak yang baik bagi orangtua dan anak penyandang kebutuhan khusus tersebut.
Tentunya butuh waktu yang tidak sebentar bagi orangtua untuk bisa sampai pada tahapan penerimaan. Ketika sudah mencapai tahapan penerimaan pun, bukan berarti akan terus bertahan di tahap itu, karena bisa jadi malam mengalami kemunduran ke tahap yang lebih rendah, lalu meningkat lagi, dan seterusnya. Ada salah satu orangtua dari anak penyandang autisme yang sudah menyadari bahwa anaknya harus mendapatkan terapi tertentu. Dia lakukan terapi tersebut dengan cukup tekun, bahkan dia pergi ke berbagai ahli untuk bisa “menyembuhkan” anaknya. Dari cerita ini terlihat, sudah muncul pemahaman pada si ibu bahwa anaknya harus mendapatkan perlakuan tertentu. Akan tetapi, bagaimana kenyataanya? Ternyata tidak. Hal ini diperlihatkan dari cara si ibu memperlakukan anaknya sewaktu pergi ke tempat terapi. Ketika anaknya turun dari mobil, si ibu akan membawa anaknya seperti layaknya seseorang mengangkut sebuah karung barang: tangan si ibu mencengkeram kuat tangan si anak dan menarik si anak untuk masuk ke ruang terapi, sementara si anak berjalan dengan terseret-seret mengikuti ibunya. Perlengkapan minum, baju ganti, dan buku terapi hanya dimasukkan ke dalam kantong plastik besar yang diikat dan dibawa oleh si ibu. Situasi seperti ini sangat jelas memperlihatkan betapa sang ibu masih sulit untuk menerima sepenuh hati kondisi anaknya. Walaupun ia tidak ragu untuk mengeluarkan uang ratusan juta rupiah bagi pengobatan anaknya, tapi si ibu masih kesulitan untuk mengikuti proses penyembuhan itu. Akibatnya, walaupun sudah hampir tiga tahun mengikuti terapi, namun hasilnya belum tampak bermakna.
Ada pula orangtua yang anaknya mengalami kelumpuhan pada kedua tangan dan kakinya, tetapi si anak selalu disembunyikan di dalam rumah, jarang dibawa ke luar rumah dan tidak pernah dibawa ke petugas kesehatan. Orangtua tersebut sepertinya merasa malu, sementara si anak semakin bertambah umur semakin terlambat perkembangannya dan orangtua pun menjadi bingung.
Kisah lain terlihat pada anak yang mengalami keterlambatan bicara berikut ini. Si orangtua, begitu mengetahui bahwa anaknya didiagnosis mengalami keterlambatan bicara, langsung bahu-membahu untuk mengantarkan sang anak mengikuti terapi bicara. Ibu dan ayah dengan sabar dan senang hati menunggu buah hatinya terapi bicara 2 kali seminggu. Terapi pun dilakukan dengan tertib dan disiplin; setiap tugas yang diberikan oleh terapis dikerjakan dengan baik. Kesabaran, penerimaan yang baik, serta kerja sama ibu dan ayah yang erat, terbukti memberikan hasil yang bermakna. Dalam waktu 2 tahun, anak tersebut sudah bisa berbicara dengan cukup lancar dan bisa mengikuti pendidikan prasekolahnya dengan baik.
Kedua ilustrasi di atas diharapkan dapat memberikan gambaran bagi ibu dan ayah yang memiliki anak berkebutuhan khusus bahwa tak mudah untuk menghadapi anak berkebutuhan khusus. Kadang orangtua putus asa, tetapi kemauan dan usaha yang keras dapat mengatasi kesulitan tersebut. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa orangtua dari anak berkebutuhan khusus pasti menghadapi lebih banyak kekhawatiran; bagaimana mereka membawa anaknya ke pegawai kesehatan, pemilihan sekolah yang sesuai, berkunjung ke dokter secara rutin, mengatasi stres dan frustrasi tingkat tinggi. Walapun demikian, orangtua harus tetap bisa berada dalam kondisi yang sehat, baik secara fisik maupun psikologis.

TIP BAGI ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS.
1. Segera bawa anak ke petugas kesehatan untuk diperiksa.
Ketika ibu dan ayah menemukan kondisi bahwa anaknya termasuk anak yang berisiko sebagai anak berkebutuhan khusus, segera bawa anak ke petugas kesehatan setempat (pegawai puskesmas) atau dokter untuk diperiksa dan dilakukan rujukan sesuai kondisi anak. Namun, ibu dan ayah tidak perlu cepat-cepat memberikan label/cap kebutuhan khusus pada anaknya, seperti anak yang tidak bisa bicara dan tidak mau bermain dengan teman sebaya langsung dicap autis, anak usia batita yang bergerak terus dilabelkan hiperaktif, dan lain-lain. Penentuan gangguan yang dialami anak harus dilakukan oleh ahlinya.

2. Orangtua harus mendidik dirinya sendiri.
Pertama-tama tentunya ibu dan ayah harus tahu tentang pola perkembangan anak. Selanjutnya, dengan dibantu oleh guru dan pegawai kesehatan, orangtua memantau perkembangan anak melalui DDTK pada kartu KMS ataukartu DDTK. Dengan begitu, ibu dan ayah akan tahu, apakah perkembangan anaknya sudah sesuai atau belum. Jika sudah diketahui bahwa anak didiagnosis dengan kebutuhan khusus tertentu, maka perbanyak pengetahuan dan informasi tentang gangguan atau penyakit yang diderita oleh anak. Dengan demikian ibu dan ayah bisa memperlakukan anak secara lebih tepat, karena orangtua adalah orang yang paling mengetahui karakteristik dan kondisi anak. Juga, perbanyak diskusi dengan ahlinya tentang pengetahuan dan informasi yang didapatkan orangtua untuk kepentingan si anak secara proporsional (seimbang).

3. Penanganan lebih lanjut oleh tim ahli.
Anak berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan lanjut yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Sebagai langkah pertama, ibu dan ayah membawa anak yang dicurigai ada gangguan atau keterlambatan perkembangan ke pospaud untuk dinilai oleh guru dan petugas kesehatan. Apabila dinilai ada keterlambatan perkembangan atau gangguan perkembangan akan dirujuk ke puskesmas. Di puskesmas sudah ada petugas kesehatan seperti dokter, perawat, dan bidan yang siap membantu. Apabila memang anak tersebut berisiko termasuk anak berkebutuhan khusus, biasanya memerlukan penanganan lebih lanjut di rumah sakit Kabupaten, berupa pemeriksaan oleh dokter ahli, psikolog, dan kemudian menjalani terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Sedangkan untuk pendidikannya memerlukan pendidikan khusus seperti SLB (Sekolah Luar Biasa), disesuaikan dengan diagnosis anak. Ketika memilih terapis, coba perhatikan, selain pengalaman dan kemampuannya yang mumpuni, juga banyak direkomendasikan (disarankan) oleh orangtua lainnya. Carilah tenaga profesional yang memiliki sikap optimis (penuh harapan) akan kondisi anak dan memiliki antusiasme (minat yang besar) dalam menolong anak kita. Terapis yang baik adalah terapis yang mampu bekerja sama dengan orangtua dan anak, serta tahu betul dan bisa memberikan terapi yang benar-benar sesuai dengan kondisi anak secara individu. Terapis seperti ini akan memberikan peluang yang besar agar anak bisa berkembang dengan lebih baik.

4. Carilah kelompok pendukung untuk diri kita.
Hidup dengan anak berkebutuhan khusus sangat penuh tuntutan, sehingga ibu dan ayah harus tinggal dalam lingkungan yang menunjukkan kesediaan untuk menolong. Harus ada pembantu atau pengasuh yang juga belajar tentang dasar-dasar terapi dan perlakuan yang harus diberikan kepada si anak, agar ibu dan ayah bisa secara bergantian dengan pembantu atau pengasuh melakukan terapi dan perlakuan tertentu di rumah. Ketika pembantu atau pengasuh menggantikan peran orangtua, maka orangtua dapat memanfaatkan waktunya untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga kembali, sehingga orangtua bisa terhindar dari kelelahan yang amat sangat. Ikutlah bergabung dengan kelompok pendukung orangtua anak berkebutuhan khusus yang sama, terlibat di dalam kelompok itu akan memberikan penguatan secara fisik maupun mental. Ibu dan ayah dapat berbagi pengalaman dan memetik pengalaman dari orangtua lain yang sudah lebih berpengalaman. Penguatan dari kelompok yang sama akan memberikan makna yang sangat berarti. Seperti kegiatan yang dilakukan di klinik tempat penulis bergabung, secara regular (teratur) melakukan pertemuan untuk orangtua dari anak dengan sindroma down. Di dalam pertemuan itu dilakukan berbagai macam kegiatan, dari penambahan pengetahuan tentang sindroma down, pengembangan keterampilan di dalam melatih anak dengan sindroma down untuk latihan BAB dan BAK maupun kegiatan sehari-sehari, juga kesempatan bagi ibu dan ayah yang baru memiliki anak dengan sindroma down untuk berbagi kisah dengan orangtua yang telah lama memiliki anak sindroma down, serta mendapatkan dukungan moral dan cara-cara mengatasinya.

5. Mengubah harapan tentang apa-apa yang bisa dicapai oleh anak berkebutuhan khusus.
Jangan pernah mencoba membanding-bandingkan dengan anak lain; setiap anak memiliki cara dan kecepatan untuk berkembang yang berbeda dan sangat khas. Apalagi jika anak itu adalah anak yang memiliki kebutuhan khusus. Lebih baik pusatkan perhatian pada hal-hal yang bisa anak lakukan, cara ini akan mengurangi tingkat stres ibu dan ayah dalam menghadapi anak. Ketika anak baru mampu mengaduk gula di dalam segelas air teh, jangan memaksa ia untuk bisa membuat teh manis dengan takaran yang pas secara mandiri. Jika anak berkebutuhan khusus kita memiliki keterbatasan kemampuan intelektualnya, janganlah ibu dan ayah mempunyai harapan tinggi pada anaknya untuk memiliki kemampuan di sekolah yang kurang lebih sama dengan anak seusianya. Lebih baik ibu dan ayah mencoba mencari aspek-aspek lain dalam diri anak yang mungkin masih bisa dikembangkan. Jika anak terlihat ada kemampuan di bidang olahraga atau seni atau keterampilan lainnya, coba berikan wadah agar anak dapat mengembangkan kemampuan itu. Mengutip kisah dari sahabat penulis tentang anaknya yang berkebutuhan khusus namun memiliki kecerdasan gerak yang menonjol, ia berikan kesempatan dan siapkan pelatih renang yang baik. Hasilnya, saat ini anak tersebut sudah mampu melakukan empat macam gerakan renang, suatu kemampuan yang mungkin tidak semua anak normal bisa mencapainya. Banyak anak autisme memiliki kecerdasan gambar yang tinggi, sehingga orangtua dapat mengarahkan dengan memasukkan anak ke sanggar lukis.

6. Bersikap proaktif (lebih aktif) atas perlakuan yang diberikan kepada anak.
Jika ibu dan ayah memiliki pertanyaan atas pengobatan atau perlakuan yang diberikan kepada anaknya, maka ibu dan ayah wajib mempertanyakannya, tidak perlu ragu karena itu merupakan hak orangtua. Ibu dan ayah adalah orang yang paling mengenal anaknya, sehingga jikal ada perlakuan yang kurang tepat, ibu dan ayah dapat menyampaikannya. Menjadi proaktif adalah cara untuk memastikan bahwa anak kita memperoleh perlakuan yang tepat dan sesuai bagi dirinya dan kita telah berbuat segala sesuatu yang mungkin kita lakukan bagi anak kita.

DDTK PUSKESMAS RSUD RSUP
DDTK merupakan alat pemantauan perkembangan anak yang dapat dilakukan oleh orangtua atau kader di rumah. Hasil pemantauan anak tersebut dapat diperkirakan apakah ALB/ABK atau sesuai.
PUSKESMAS, dokter, petugas kesehatan, perawat, bidan adalah orang-orang yang akan memeriksa kembali ALB/ABK yang datang. Untuk ALB bisa ditangani di tingkat puskesmas saja, namun jika ABK harus dirujuk ke tempat yang lebih lengkap yaitu RSUD atau RSUP.


SUMBER BACAAN
• Family Education department, Essential Parenting Tips, Singapore: Ministry of Community Development and Sports. 2001
• http://rscm.co.id/
• http://www.businessballs.com/elisabeth_kubler_ross_five_stages_of_grief.htm
• http://www.ehow.com/how_2054838_deal-special-needs-children.html#ixzz0zOGeeElC
• http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=05241&rubrik=teropong
• Ichsan Teti., Buah hatiku memiliki Sindroma down. Jakarta: Insos Books.2010
• Kaltimpost.co.id. Oscar Yura Dompas (Rabu, 27 Mei 2009)
• kamera-digital forum/ 14.09.2006
• www.rsiahermina.com/

Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal
Kementerian Pendidikan Nasional
Tahun 2011
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

.
 
Support : Zaahir Shop | E-Kids | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Diary Zaahir | Diary Ummi dan Abi untuk Generasi Cemerlang - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template